Pertamina Regional Makassar Diminta Tegas, Dugaan Praktik Pelansiran Makin Terang
BONE, LENSASATU.COM || Kelangkaan solar di Kabupaten Bone kembali memicu keresahan. Kali ini, sejumlah sopir truk mengeluhkan pelayanan di SPBU Pertamina 74.927.46 Palakka, Poros Bone. Mereka menuding pihak SPBU lebih mengutamakan pembeli menggunakan jerigen ketimbang truk yang sudah mengantri panjang sejak dini hari.
Pantauan di lapangan, antrean truk mengular hingga ratusan meter sejak pukul 02.00 WITA. Para sopir berharap bisa segera mengisi tangki mereka ketika pasokan solar tiba sekitar pukul 08.00 WITA. Namun kenyataan pahit mereka temui: jerigen-jerigen yang dibawa mobil pick up justru lebih dulu mendapat giliran pengisian.
“Inimi yang bikin sakit hati, kami sopir truk sudah antri dari subuh, tapi jerigen yang diduga pelansir malah didahulukan. Kalau begini, bagaimana kami mau kerja angkut barang? Rugi waktu, rugi uang,” keluh Ino, salah seorang sopir truk yang kesal saat ditemui, Kamis (04/09/2025).
Keluhan serupa datang dari sopir lain yang enggan disebut namanya. Menurutnya, praktik ini sudah berlangsung lama.
“Setiap solar datang, jerigen masuk duluan. Truk besar kayak kami dianggap tidak penting. Padahal jelas, solar itu utamanya untuk kendaraan, bukan untuk dijual lagi,” tegasnya.
Menanggapi protes tersebut, Andi Erni, manajer SPBU Palakka, tidak menampik bahwa pengisian jerigen memang dilakukan bersamaan dengan kendaraan.
“Memang benar kami melayani jerigen, tapi bukan berarti kami mengabaikan kendaraan. Sistemnya diselingi, selesai isi mobil, jerigen satu atau dua. Jadi bukan jerigen terus. Selain itu, jerigen-jerigen ini juga punya surat rekomendasi, jadi kami tidak bisa serta-merta menolak,” jelas Erni.
Ia mengakui antrean panjang kerap terjadi karena sopir sudah datang sejak subuh sementara pasokan solar baru tiba sekitar pukul 08.00 WITA. “Saat stok datang, kendaraan sudah menumpuk. Sementara jerigen juga tidak bisa kami larang, tinggal berapa saja yang bisa kami layani,” tambahnya.
Lebih jauh, Erni mengungkapkan bahwa sebagian besar konsumen yang datang membawa jerigen adalah nelayan dari Bajoe dan Panyula.
“Konsumen yang non kendaraan itu nelayan semua dari Bajoe sama Panyula. Mereka juga menunggu dari jam 01.00 WITA di SPBU, dan baru kami layani sekitar jam 11.00 siang,” kata Erni.
Pernyataan tersebut justru memunculkan pertanyaan baru dari masyarakat. Warga menilai janggal jika nelayan Bajoe dan Panyula harus menempuh jarak cukup jauh ke Palakka hanya untuk mengisi solar, padahal ada SPBU lain yang lebih dekat, seperti di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Cellu, yang letaknya hanya beberapa menit dari pelabuhan.
“Kalau benar solar itu untuk nelayan, kenapa mereka tidak dilayani di SPBU Cellu yang dekat pelabuhan? Kenapa harus jauh-jauh ke Palakka? Ini patut dicurigai, jangan-jangan ada permainan di balik penyaluran solar ini,” ujar Herman, salah seorang warga Bone yang ikut memantau antrean di SPBU Palakka. Jumat (05/09/2025).
Menurut Herman, alasan jarak ini harus diklarifikasi oleh Pertamina maupun pemerintah daerah. “Kalau alasannya legal dan ada dasar hukumnya, harus dijelaskan terbuka. Kalau tidak, wajar kalau publik menduga ada jalur khusus yang sengaja dibuka untuk kepentingan tertentu,” tambahnya.
Kejadian di SPBU Palakka ini menambah daftar panjang persoalan distribusi BBM bersubsidi di Bone. Pertanyaan besar pun muncul, sejauh mana pengawasan Pertamina dan pemerintah daerah terhadap SPBU yang lebih mengutamakan jerigen? Dan mengapa praktik ini dibiarkan berulang?
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 serta aturan teknis dari Pertamina, solar subsidi diprioritaskan untuk transportasi jalan, baik angkutan umum maupun kendaraan barang. Penjualan dengan jerigen memang dimungkinkan, khususnya bagi nelayan atau usaha mikro, tapi sifatnya terbatas dan tidak boleh mengganggu distribusi utama bagi transportasi darat.
“Jika antrean kendaraan roda empat masih panjang, SPBU wajib mendahulukan kendaraan. Penyaluran jerigen bisa dilakukan setelah antrean reda atau diatur waktunya,” jelas Herman.
Lanjut kata Dia, Artinya, ketika SPBU lebih mendahulukan jerigen daripada kendaraan bermotor, ada potensi pelanggaran distribusi sekaligus membuka ruang spekulasi adanya permainan kuota.
Disamping itu menurutnya, Kehadiran surat rekomendasi dari instansi terkait memang sering dijadikan dalih oleh SPBU untuk melayani pembelian dengan jerigen. Padahal, dalam praktiknya, surat ini rentan disalahgunakan. Apalagi jika jumlah nelayan yang benar-benar aktif melaut tidak sebanding dengan volume solar subsidi yang keluar lewat jalur jerigen.
“Kalau betul untuk nelayan, kenapa harus antre di SPBU jauh dari pelabuhan? Itu yang membingungkan masyarakat. Jangan sampai rekomendasi hanya jadi tameng untuk permainan oknum,” sebutnya.
Kondisi antrean panjang kendaraan roda empat yang tak kunjung surut membuat keresahan sosial meningkat. Sopir truk pengangkut barang, angkutan umum, hingga mobil pribadi kerap harus menunggu berjam-jam. Sementara di sisi lain, antrean jerigen tampak mulus mendapatkan giliran.
Jika praktik ini dibiarkan, bukan hanya keadilan distribusi yang terganggu, tetapi juga ada potensi kerugian negara akibat distribusi subsidi yang tidak tepat sasaran. Solar yang seharusnya menopang transportasi bisa beralih ke sektor yang tidak sepenuhnya layak menerima.
Bagi sopir truk, jawaban itu tidak bisa ditunda lagi. “Kami hanya minta keadilan. Kalau terus begini, kami yang jadi korban. Negara juga bisa rugi karena solar subsidi lari ke pelansir,” Tutur Ino dengan nada kecewa.
Desakan agar Pertamina dan aparat penegak hukum turun tangan semakin kuat. Warga menilai perlu ada pengawasan ketat di lapangan, terutama terhadap SPBU yang mengutamakan jerigen dibanding kendaraan.
“Kalau aturannya jelas, seharusnya tidak ada prioritas jerigen saat kendaraan mengantre panjang. Pengawasan mesti diperketat, jangan sampai masyarakat kecil yang akhirnya jadi korban,” tegasnya.